Cara Memahami Generasi Millennial
Tulisan ini adalah ringkasan dari HR Thursday Talk persembahan karir.com yang berlangsung pada tahun 2015 yang lalu. Berawal dari kegelisahan banyak klien tentang bagaimana cara menghadapi generasi Millennials atau generasi Y. Acara ini mendapatkan sambutan yang luar biasa dari lebih 100 HR Professional di Jakarta. Ternyata, friksi atau gesekan antara Generasi millennial dengan pendahulu mereka - Generasi X - lebih nyata daripada yang dibayangkan. Pembicara HR Thursday Talk kali ini adalah Hery Kustanto, HR Head dari Net TV yang memiliki lebih dari 70% karyawan generasi millennial.
Hery Kustanto sendiri adalah Generasi X yang lahir di antara tahun 1965 – 1980. Mereka yang besar di Jakarta mengenal Catatan si Boy dengan BMW seri 3-nya, Lintas Melawai, dan Drive-in Ancol. Sebagian besar senang dengan Bon Jovi dan yang saat ini mulai heboh karena sebentar lagi akan tampil di Jakarta. Lebih tahu sepatu roda daripada inline skate. Pernah merasakan ketegangan antara Amerika dan Rusia, tahu bahwa dulu sempat ada Jerman Barat dan Jerman Timur. Sempat mengalami episode kisah boneka Si Unyil sebagai hiburan dan beberapa pengalaman lain. Generasi X adalah pemikir-pemikir independen yang tidak menyukai segala bentuk otoritas. Generasi kami juga yang menggulingkan Orde Baru di Republik ini. Kami tidak suka meeting berlama-lama dalam suasana formal. Nah, banyak dari Generasi X kini menjadi pemimpin di perusahaan, sementara yang dipimpin adalah Generasi Millenial atau Generasi Y.
Siapakah Generasi Y? Adalah mereka yang lahir antara tahun 1980 – 1995. Tidak pernah mendengar tentang perang dingin (KGB itu Khong Guan Biscuit, ya?), lebih tidak formal daripada generasi X, menuntut fleksibilitas dalam bekerja, kritis mempertanyakan semua keputusan. Mereka juga lebih terbiasa dan luwes dalam memanfaatkan teknologi daripada generasi sebelumnya, banyak dipengaruhi oleh kultur musik dan pop, serta sadar berbusana trendy.
Dalam paparan-nya juga, Hery Kustanto menjabarkan karakter Generasi millenial yang menjadi populasi dominan di NET. TV sebagai berikut:
Generasi yang sangat melek teknologi alias tech - Ssavvy.
Memiliki ambisi yang tinggi; ingin karir melesat cepat.
Haus akan perhatian atau attention – Craving.
Memilih ruang privasi tidak bersekat.
Pencitraan; kadang tidak menggambarkan diri yang sebenarnya.
Mampu melakukan multi tasking dan berpikiran luas.
Pandai menghasilkan uang walau tidak bekerja kantoran.
Tidak ada loyalitas.
Tidak menyukai birokrasi (rumit).
Generasi Work Hard, Party Hard.
Dalam diskusi hangat ngabuburit itu, ada kesepakatan untuk menambahkan beberapa karakter lain dari generasi millenial :
Mereka adalah generasi kritis, mempertanyakan segala hal setiap saat.
Berani men-challenge atasan terhadap keputusan apapun.
Generasi yang sadar fashion dan dipengaruhi oleh kultur pop dan musik.
Memahami penggambaran karakter generasi millenial di atas ini akan sangat membantu kita dalam menghadapi mereka. Sekilas dari paparan Hery Kustanto, sebagai seorang HR Professional akan terlintas tantangan paling berat, “Bagaimana saya bisa mendisiplinkan generasi millenial ini?” Bagaimana tidak? Kalau melihat karakter mereka, saya sebagai turunan Jawa akan melabeli mereka sebagai generasi mbeling.
“Saya sering mengatakan ke mereka, nggak heran kalian ini disebut generasi Y. Sukanya nanya ini itu terus. Why this, why that. Inginnya bisa segera jadi manager. Emangnya perusahaan mbahmu?” canda Hery dalam paparannya.
Masalah kedisiplinan memang menjadi issue yang sering dilontarkan dalam diskusi bersama dalam HR Thursday Talk. Bahkan dalam sesi dengan media, issue disiplin kembali mencuat dan menjadi obrolan panas yang serius, karena awak media sangat antusias dengan topik ini.
Hebatnya, di NET. TV, mereka berhasil menerapkan disiplin yang tinggi kepada para awak millennial mereka sementara tuntutan kreativitas sangat tinggi. Hery sulit membayangkan bagaimana cara menyatukan dua tuntutan yang sangat bertolak belakang ini. Anak-anak kreatif umumnya tidak disipilin, sebaliknya mereka yang sangat disiplin dan patuh peraturan, sulit menjadi kreatif.
Lantas bagaimana caranya?
Menghadirkan Suasana Kerja yang Nyaman
Sudah bukan rahasia, karyawan menuntut suasana kerja yang nyaman, dan generasi millennial tentu saja termasuk kelompok yang menuntut hal yang sama, bahkan lebih. Di NET. TV, upaya ini dilakukan melalui desain interior yang lebih menyerupai café daripada kantor. Area outdoor untuk melepas stress disediakan oleh NET. TV. Di Bukalapak.com selain makan siang dan sore prasmanan gratis, karyawan juga diijinkan bekerja dari rumah dan diterapkannya flexible working hour. Terus terang, kebijakan bekerja dari rumah ini terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut karena tidak semua perusahaan dapat menerapkan hal yang sama.
Friksi dapat terjadi ketika seorang head yang berasal dari generasi X bertemu dengan team mereka dari generasi millennial yang sudah terlanjur nyaman dengan pilihan bekerja dari rumah. Generasi X akan men-cap mereka sebagai slackers alias pemalas.
Disinilah peran HR sebagai Talent Development kembali diuji. Kesimpulan dari pembahasan adalah, bagaimana menghadirkan suasana kerja yang nyaman bagi kedua generasi tersebut. Jangan kebablasan.
Sementara di NET. TV, jam kerja pun bisa dibilang tidak ada. “Karena kami ini media TV. Jam kerja tidak standar. “ kata Hery. Namun, bukan berarti karyawan bisa masuk dan pulang kantor seenak mereka. “Jam kerja di media TV sangat tergantung dari program apa yang mereka kerjakan.” jelas Hery lagi. Mereka yang baru pertama kali berkarir di media TV biasanya akan shock.
Keterlibatan CEO sebagai Sosok Inspiratif
NET. TV juga menilai keterlibatan dari seorang CEO bagi generasi millennial sebagai salah satu kunci untuk mendisplinkan mereka. CEO Net. TV dipandang sangat terlibat dan dekat dengan generasi millennial. Ia selalu hadir dalam pertemuan formal dan informal.
“CEO kita ini sampai banyak di-idolakan oleh para karyawan baru dari generasi millennial,” ujar Hery.
Saya jadi teringat salah satu buku berjudul The Nordstrom Way tentang kisah sukses Nordstrom, retailer besar dari Amerika. Berbeda dengan Wal Mart, Nordstrom lebih melayani konsumen premium. Pendekatan mereka sangat personal. Untuk bisa menularkan value tersebut kepada karyawan, pimpinan tertinggi dari Nordstrom pun sangat personal terhadap karyawan mereka. Dalam proses induction, sang CEO tidak segan-segan bertemu dengan para karyawan secara langsung dan memberikan sambutan serta insights kepada mereka. Dalam buku tersebut, bahkan digambarkan bagaimana seorang Blake Nordstrom selaku pimpinan tertinggi mengatakan kepada para karyawan baru, “Gunakan uang saya bila perlu supaya kamu bisa lebih dekat dengan customer.”
Update secara Berkala
Selain sosok seorang CEO yang harus dekat, generasi millennial yang kritis juga akan lebih involved dan engaged jika pihak manajemen melakukan update secara berkala terhadap kondisi dan kinerja dari perusahaan.
“Mereka itu selalu ingin tau, perusahaan kita ini gimana sih? Sudah sampai mana sih? Untung gak sih?” jelas Hery.
Pendekatan ini juga diamini oleh beberapa perusahaan lain. Di EMTEK group, para karyawan mengenal istilah Town Hall, dimana pihak manajemen yang diwakili oleh CEO akan memberikan update terhadap kinerja dari perusahaan. Dengan proses update ini, karyawan akan memiliki sense of ownership yang tinggi dan tentunya akan semakin terpacu untuk terus berkarya.
Comments